Selasa, 31 Mei 2016

MITOLOGI DALAM SUKU MALIND ANIM

Mitologi dalam suku Marind-Anim 

 

Dalam suku Marind Anim terdapat mite tentang asal-usul manusia. Dari mite ini maka suku Marind Anim akhirnya memiliki totem seperti yang akan diceritakan dalam mite tersebut seperi kelapa, anjing dan ikan. Terdapat banyak mite dalam suku bangsa ini. Namun demikian, terdapat suatu mite yang dikenal secara umum. Berikut ini akan diceritakan tentang mite/asal-usul lahirnya manusia.

I. Arti Dema
Dema adalah nama yang diberikan berdasarkan kepercayaan masyarakat Marind akan kemahakuasaan yang dimiliki oleh roh. Roh ini sangat sakral dan sangat dihormati. Dema pada dasarnya berwujud manusia namun terkadang menjelma dalam bentuk hewan dan tumbuhan. Bagi orang Marind, Dema merupakan asal-usul manusia, nenek moyang orang Marind.
Dema adalah suatu makhluk jaman purbakala, yang bersama makhluk lainnya telah menjadi dunia dan tata dunia ini, tetapi yang kemudian tidak memiliki pengaruh lagi atas dunia ini. Setiap dema ini sekarang memiliki totem, yaitu suatu cara istimewa diduga berhubungan dengan suatu dema yang tertentu dan dengan klen tertentu.[1]
Pada mulanya, terdapat dua Dema yakni Nugog atau bumi yang dipercaya sebagai ibu/perempuan. Dema yang kedua adalah Dinadin atau langit yang adalah pria/suami. Kedua Dema ini memiliki dua orang anak yakni Geb dan Sami. Kedua anak ini merupakan nenemoyang/leluhur pertama orang Marind. Geb (klen kelapa) mewakili daerah pantai sedangkan Sami (klen sagu) mewakili daerah pedalaman. Walaupun keduanya mewakili daerah yang berbeda namun  mereka harus saling membantu satu sama lain.[2] hal. 5
II. Mitos Orang Marind[3]
          Dikisahkan bahwa pada suatu waktu, Dema mengadakan acara/pesta adat. Pesta tersebut dilaksanakan di dalam tanah di daerah Sangase.[4] Untuk itu, setiap Dema berjalan dari daerahnya masing-masing untuk sampai ke tempat acara tersebut diselenggarakan.
Dalam perjalanan itu, terjadilah sesuatu yang aneh dan menarik. Dema Anjing yang bernama Girui mendengar suara yang aneh dari dalam tanah karena adanya pergerakan para peserta yang hendak menghadiri pesta tadi. Ia berusaha mengikuti sumber bunyi tersebut. Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Kondo, suara itu semakin terdengar jelas. Kondo adalah daerah di muara sungai. Sesampainya di situ, Dema Girui menggali tanah yang merupakan sumber bunyi itu. Dari lubang yang digalinya itu, terpancar keluar air, namun bukan air semata. Bersamaan dengan itu, keluar pula seekor binatang yang aneh. Binatang itu menyerupai seekor ikan. Ikan itu berbentuk seperti ikan anda (ikan gabus atau lele). Ikan itu mempunyai dua tangan, sementara sirip dan ekornya bersatu dengan badan. Ikan ini tidak memiliki mulut dan telinga.
          Dikisahkan lebih lanjut bahwa bentuk ikan seperti ini kemudian disempurnakan oleh Dema Api. Ia membuat api di atas lubang yang digali tadi. Api dibuat dengan mempergunakan bambu. Karena usaha ini, muncullah berturut-turut dua telinga pada manusia ikan itu. Pada tahap selanjutnya, muncullah ledakan akibat api tadi dan muncullah dua mata. Pada ledakan ketiga, Dema api memberikan suara dan manusia itu dapat berteriak dengan suara yang keras. Itulah proses terjadinya mulut dan masa berakhirnya penciptaan manusia.
          Bila diselidiki lebih jauh lagi, sebenarnya Dema anjing tadi menggali dua lubang, yang menandakan bahwa ada dua manusia yang diciptakan. Namun demikian, saat keduanya keluar dari lubang yang digali Dema anjing, ikan yang satunya telah sempurna bentuknya sehingga tidak perlu disempurnakan lagi. Ikan yang pertama dan belum sempurna itu dipercaya sebagai leluhur orang Marind sementara dari lubang yang satunya tadi, tempat munculnya ikan yang lain, dipercaya sebagai manusia yang telah sempurna dan merupakan leluhur suku-suku lain (Ikonim Anim). Setelah keluar dari lubang itu, ia langsung pergi meninggalkan daerah Marind dan menetap di tempatnya sekarang. Ia adalah leluhur orang kulit putih (sebutan terhadap orang barat). Ia pergi meninggalkan tempat penciptaan ini dengan menggunakan sebuah perahu.
III. Tanggapan
Sejak hadirnya dema pertama, dapat dilihat bahwa orang Marind memiliki kesatuan yang erat dan tak tergantikan. Suku Geb yang mewakili daerah pantai serta Suku Sami yang mewakili daerah pedalaman berasal dari satu keturunan. Untuk itu, orang Marind tidak pernah membedakan eksistensinya sebagai orang pantai dan pedalaman. Semuanya adalah orang Marind yang adalah animha (manusia sejati). Mereka memiliki relasi kekeluargaan yang besar dan saling membantu.
Itulah sifat yang bisa diambil dari kisah tentang dema-dema yang pertama. Selanjutnya dalam kisah penciptaan, dilihat bahwa manusia Marind diciptakan dengan melalui proses yang panjang. Berbagai unsure dati alam seperti bamboo dan api digunakan untuk menyempurnakan manusia Marind. Untuk itu, manusia Marind tidak bisa hidup dengan telepas dari alam. Manusia Marind dan alam adalah suatu kesatuan. Manusia Marind hidup bersama alam dan terlibat di dalam alam demi kebahagiaan bersama. Manusia Marind hidup kareka alam dan untuk itu, ia wajib menjaga dan memelihara alam yang telah menyempurnakan dan menjadikannya seperti yang ada sekarang ini.
Selain persatuan di antara berbagai klen yang ada dalam budaya Marind serta kesatuan manusia dengan alam, mereka juga masih menghargai orang asing yang masuk. Bagi mereka, kisah penciptaan seperti yang diceritakan di atas member gambaran yang jelas bahwa orang asing adalah saudara mereka yang pada saat penciptaan telah terlebih dahulu menjadi sempurna sehingga mereka sudah keluar ke daerah lain menggunakan sebuah perahu. Untuk itu, ketika mereka kembali lagi ke wilayah Marind, mereka diterima dengan baik sebagai saudara.
          Dari mite seperti ini dapat diketahui bahwa Dema merupakan roh yang sakral dan sangat dihormati. Ia dihormati karena dipercaya bahwa Ia sangat sakti dan berkuasa melakukan apa saja seperti yang terjadi dalam mite di atas. Ia mampu mengadakan manusia dan menjadikannya sempurna. Semuanya itu dilakukan karena ia memiliki kuasa dan kehebatan khusus.
          Terlepas dari persoalan Dema, dari mitos ini kita juga melihat kosmologi orang Marind. Langit dan Bumi, permukaan tanah dan bawah tanah, anjing, bambu, ikan, api, manusia dan sebagainya menggambarkan bahwa seluruh isi langit dan bumi memiliki kesatuan. Kesatuan ini tak dapat dipisahkan. Bagi orang Marind, manusia berasal dari alam, dan alam dihidupi oleh manusia. Semuanya saling menjaga dan melindungi.
          Sebagai manusia, orang Marind berhak menjaga alam karena alam telah menghadirkan mereka. Walau awal penciptaannya, orang Marind tidak sempurna seperti kisah penciptaan di atas, namun dengan perlahan tapi pasti, Demamempergunakan unsur-unsur yang ada pada alam untuk membuatnya sempurna. Untuk itu, alam sangat berjasa dan bernilai urgen bagi orang Marind.

Add caption


Siang itu, Minggu (10/4), langit cerah ketika kami berjumpa dengannya di dusun sunyi, sebuah tempat di ujung timur Nusantara. Kami menjangkau dusun ini setelah melintasi sabana serta menembus lebatnya pohon bus dan sela-sela musamus (rumah rayap).


Suku Marind yang mendiami Merauke, pesisir selatan Papua, kini bergelut dengan modernisasi. Tombak, busur, pasak, dan kahanggat (batang bambu yang diruncingkan) perlahan diganti pacul, sekop, dan traktor. Meski demikian, hasrat berburu tetap menyala.


Cornelia bersama 200-an keluarga di Kampung Urumb adalah sebagian warga Marind yang cakap bersawah dan menghasilkan sekitar 1,5 ton beras tiap kali panen. Keluarga Cornelia bertani padi sejak 1962 saat beberapa warga Marind di pesisir pantai hijrah ke daratan. Orangtua mereka belajar bersawah dari transmigran asal Jawa.


Berburu kanguru atau rusa dengan bekal busur dan tombak jarang mereka lakukan. Demikian pula menokok (mengikis) daging pohon sagu dengan kahanggat, hal itu hanya dilakoni pada waktu-waktu tertentu, seperti menjelang upacara adat.


Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Marind Frederikus Gebze menuturkan, transformasi bermula pada awal 1900-an ketika gelombang pendatang masuk Merauke. Kebanyakan pendatang adalah orang Jawa yang dibawa Belanda. Di Merauke mereka dikenal dengan Jamer (Jawa-Merauke).


Pertemuan itu membuat orang Marind—yang umumnya berpostur tegap, tinggi besar, dan berhidung mancung—mulai kenal pertanian padi dan palawija. Lahan persawahan mulai dibuka di sekitar pantai Merauke dan Distrik Kurik. Saat itulah, sekitar 1910, sejumlah warga Marind membuka sawah dan menanam padi. Perkenalan suku Marind dengan sistem pertanian modern berlanjut hingga gelombang transmigrasi tahun 19651995. Pada 1985 pemerintah merelokasi keluarga Marind ke daerah transmigran dan membekali mereka dengan pertanian modern, dari mengolah tanah dengan pacul dan traktor, menabur benih, memupuk, hingga memanen.


Meski transformasi tidak berjalan mulus, suku Marind yang tinggal di sekitar permukiman transmigrasi, seperti Distrik Semangga, Kurik, dan Kumbe, perlahan menyerap kecakapan budidaya. Vincentius Takai Mahuze (43), warga Kampung Urumb, Distrik Semangga, misalnya, bisa mendapatkan 40 karung gabah dari 1 hektar (ha) sawahnya setiap panen. Minimal dia mengantongi Rp 3,6 juta dari penjualan 1,2 ton beras.


Walaupun sudah bertani, budaya meramu, memangkur sagu, menjaring ikan, berburu, dan berkebun dengan metode sederhana, yakni wambat


(membuat deretan bedeng setinggi lutut orang dewasa untuk ditanami umbi-umbian dan pisang), tetap mereka pertahankan. Ini tersisa pada suku Marind yang bermukim di pedalaman hutan dan rawa. Mereka adalah suku Kanum, subsuku Marind yang mendiami Kampung Yanggandur, Torai, Erambu, Sota, dan Rawa Biru di Distrik Sota.


Aktivitas bertani melengkapi keseharian suku Marind asli, yaitu masuk-keluar hutan berburu rusa, babi, buaya, dan kanguru. Hasil buruan dijual ke Merauke tanpa diolah lebih dulu. Oleh warga perkotaan, daging rusa itu diolah sebagai bahan bakso dan dendeng. Merauke adalah penghasil dendeng rusa yang populer.


Menurut Jago Bukit, Kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius, Merauke, warga suku Marind tak bisa bertahan dengan meramu dan berburu. Sebab, hutan dan sabana perburuan terdesak dan menciut karena lahan mereka dikapling pengusaha. Sektor pertanian memang menjadi fokus dan unggulan Merauke. Merauke memiliki lahan pertanian potensial 2,5 juta ha dengan lahan basah 1,9 juta ha. Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Merauke menerbitkan 46 izin investasi bidang pertanian meliputi 228.000 ha lahan, termasuk di tanah ulayat. Ironisnya, tanah ulayat sering dilepas dengan harga murah kepada pemilik modal. Banyak tanah ulayat dijual hanya Rp 10 (sepuluh rupiah!) per meter persegi karena iming-iming perusahaan memberi perumahan, pendidikan, dan lapangan kerja.





Sebaliknya, harus dibuka juga fakta, tak semua investor sekadar mencari untung. Mereka eksplisit punya andil menggerakkan perekonomian daerah dan menyerap tenaga kerja. Bayangkan, tanpa investasi dan campur tangan pemodal dari Jakarta—dan masuknya teknologi baru—Merauke tentu sulit sekali berkembang. Susahnya, sebagian warga tidak memiliki ketekunan dan keuletan bertani. Ini wajar karena sekian generasi mereka diberkahi kemurahan alam. Karena itu, seperti kata Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-anim Alberth Gebze Moyuend, sebagian warga meninggalkan sawah mereka karena merasa tak sesuai dengan kultur dan adat. Tercatat lahan sawah yang terbengkalai mencapai 34 persen dari 38.402 ha lahan pertanian di Merauke.


Pastor Andreas Fanumbi Pr, pendamping masyarakat Marind di Distrik Semangga, melihat masyarakat Marind mengalami benturan budaya. Mereka butuh pendampingan untuk bergelut dengan perubahan keadaan dan budaya. Diperlukan pendekatan budaya dan religi dengan melibatkan tiga tungku, yakni pemerintah, masyarakat, dan pihak ketiga. Pendidikan diperlukan.


Bupati Merauke Romanus Mbaraka bertekad melindungi masyarakat Marind. Ia menawarkan konsep penyertaan modal. Tanah adat yang kelak jadi lahan perusahaan dihitung sebagai penyertaan modal....

Posted By Namek Bian



SEJARAH SUKU MALIND ANIM SUKU DUNIA

World Tribe  ~  One Marind Anim  inhabiting vast plains in the southern part of West Papua, ranging from Muli strait (Selat Marianne) to the border areas of Indonesia and Papua New Guinea. Most of them are also scattered around watersheds Buraka, Bian, Eli, Kumbe and Maro. The area is located in the District of Okaba, Merauke, partly Kimam and Muting the District of Merauke, West Papua Province. This area is lowland flora bersavana with similar flora Australian continent and swampy plains are covered with sago palms in rivers. Its population is approximately 5,000-7,000 people.


Anim said means male (anem for men, for women anum). This ethnic group has a number of sub-tribes, such as the Kanum-Anim, or Yei Yei-Anim-Nan, Yab-Anim, Maklew-Anim and Kurkari-Anim (In Papua New Guinea). While tribes neighbors include the Yelmek in the northwest, the Manikor (Mani) and Kurhari in the east, the Manggrat-Rik in the lower reaches of the river Maro, People Boazi near Lake Fly and Murray whose waters flow into the territory of Papua New Guinea ,

Livelihood The Marind Anim

The main livelihood of  the Marind-Anim  is farming with crops such as yams, manioc (cassava) and kava (a type of plant for liquor). Sago including their staples are important, in addition to trying to catch fish and other aquatic animals in the river and seafront. Like his men, hunt wild animals such as wild boar, possum, wallabies (small kangaroos), cassowary, mice, lizards and various species of birds. To meet will kebuhutuhan tobacco, planting a plant called tumuku rhythms.

The Marind society Anim

People Marind-Anim  until now still known as the tribes of hunters. His tribe has a very high role in their daily lives, can be compared with the Asmat tribe that dwells deep in the northwest region of them. In the old civilization that they develop the equipment of weapons for war and hunting, like the bow of bamboo, arrows from reeds, spear and mace from wood, stone axes and longboats (approximately 15 meters) who rowed standing, tools thruster and cutting of bone or shells. They cook using bamboo tubes or by using hot stones.

The house architecture and sculpture they are very simple. The houses are set up with a dirt-floored, walled beams solid wood, leaf roofed with grass or palm leaves. Engraving is only made ​​to adorn the pillars of their sacred buildings. But the art of dress  Marind Anim  famous most exciting and vibrant, especially clothes soldiers and dancers. Art  People Marind Anim  similar to the Asmat art.


Community  Marind Anim  live in villages usually have at least a bachelors house they call gotad. Men as a teenager living in this house. Meanwhile around gotad standing family houses (Oram aha) or home women are smaller in size. A village, usually made ​​up of bonds relative (patrilineal clan) or in the form of bonds that eksogamik totemism territorial nature, as people  Marind Anim  more concerned with the extent of its role in the family environment. The formation of a federation of village by village or clan totemism system that led to the group moiety totem in a kampong. Marriage is exogamy and they embraced patrilineal kinship system, in which a wife must sign in and join the group of female relatives of her husband. A wife initially come stay at home parents her husband's extended family. If the house is too dense it can be asked for an aha Oram to her husband and male relatives of her husband. He moved to his new home and ready also to accept the daughter-in- law.

Religion and Belief The Marind Anim

Mission Christianity came first to this region in 1910, namely in Okaba. The original religion of the Marind Anim  itself is more oriented toward the existence of spirits they call the special concept dema. Dema this form of supernatural forces in nature, or as the spirits of the dead. All of it is also related to their concept of totemism. Therefore no-dema dema worshiped besides natural-dema dema totemnya own. There dema who appears in human form well before man or an animal. No one called Yorma (dema sea), wonatai (totem crocodiles), Yawi (dema coconut) and others.

Reference: Baal, 1966, 1985 Boelaars


You're reading an article about the  history of The Marind Anim  Please read the article Parts World  About   |   Others. You may spread Expand or copy-paste this article, but do not forget to put links  History The Marind Anim  sebaga sumbernyac


World Tribe  ~ Tribe Auyu or Auyu dwell among Digul river, including Kabupatan Merauke, West Papua province. They are scattered in the District of Cassowary Coast, Kuoh, Mandobo. This area is full of forests and wetlands, as well as here and there are meadows. 

history-tribal-Auyu

The group has its own language which is the language by number of speakers Auyu approximately 18,000 people. Included in the group's language is the language Oser, Jenimu, Pisa, Wefu, and Iwkero. People Auyu neighboring  Asmat people  in the north, the Citak in the east, and the Yaqai south.

Formerly known Auyu nomadic people, but after being embraced by Catholic missionaries. Habits are changing and they live in the settlements remain.

Auyu livelihood of people are hunting and tap sago. Their staple food is sago and supported with fish and meat. Sago and fish sought after by women, while the meat is the hunting of men. Related to hunting there is a game among boys called amiogo. This game serves to train children in the use of bows and arrows, which later would be used in adults after the hunt to sustain life.

Auyu person familiar with the clan system, called kernels. The existence of clan iti guarded and maintained by men. A clan can be maintained through marriage or war. Through marriage, the clan can be enlarged, while the clan war was maintained from extinction or to be enslaved by another clan or ethnic group. That is why the culture they know bukhose khave game, a game that is usually done by boys. Name of the game it can literally be translated as "game galangal", where a toy is made from the stem ginger forests by menombakkannya to the counterparty.

In this game the children identify themselves as a clan war chief called poghoi, as poghoi in the days of their ancestors who made heroic events in the history of the group or clan. They want the same as the head of the war generation ancestor is viewed very knight.

In the art field they know the sort of histrionics as part of the ceremonies. Expression of beauty set forth in art where they are adept at making shields to dance. Decorative motifs on the shield it looked eye motif elements, the letter V, curly and double volute or meanders. Shield was given to white as the base color, frame decoration was black, and red channel outages.

Source: Encyclopedia of Ethnic Groups in Indonesia by Jonah M. Melalatoa
You're reading an article about the  history of Tribe Auyu  Please read the article  Parts World  About   Others. You may spread Expand or copy-paste this article, but do not forget to put the Link  History Tribe Auyu As the source

Posted By Namek Bian

SUKU ASLI TANAH PAPUA MARIND

SUKU ASLI TANAH PAPUA : MARIND


Namek Benjamin Samkakai
11140110094
F1

***
Pada kesempatan liburan beberapa waktu lalu, saya mendapatkan kesempatan buat berlibur ke wilayah timur nusantara Indonesia. Lewat Bandara Internasional Soekarno-Hatta, saya berhasil menghabiskan waktu selama kurang lebih Sembilan jam di udara menuju Bandara Mopah, Merauke setelah sebelumnya sempat transit di Denpasar dan Jayapura.


Di Merauke, Irian Jaya, saya memutuskan untuk nyari suku untuk observasi tugas take home KAB. Jujur, betapa ragunya saya sejak menginjakkan kaki di tanah Merauke karena sepanjang jalan saya sendiri sangat jarang menemukan sosok wajah suku asli dari Papua, yang banyak saya temuin malah orang-orang keturunan Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku


Sempat pesimis juga karena hanya saya  sendirian di sini, tapi berkat beberapa kenalan dan saudara yang menemani saya di sini, akhirnya saya bisa menentukan satu target observasi di  Merauke ini, dan mereka adalah Suku Marind, salah satu suku asli tanah Papua yang ada di Merauke.


Untuk konsep observasi, saya milih untuk ngebahas beberapa elemen budaya yang telah diperkenalkan oleh Samovar yaitu, sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, bahasa serta pengaruh budaya luar terhadap gaya hidup Suku Marind sendiri. Jadi, pretty much bahasan saya terbatas hanya untuk elemen-elemen budaya Suku Marind saja.^^


Inilah kisah observasi saya dengan penduduk asli tanah Papua tersebut…


***


SEKILAS TENTANG SUKU MARIND

Tidak banyak orang luar Merauke ataupun di Indonesia sendiri tahu tentang keberadaan mereka, publikasi dan kisah tentang mereka tentu sangat sedikit jika dibandingkan oleh suku-suku lain yang ada di Indonesia. Sumpah deh, pertama kali datang ke sini saya juga nggak pernah tahu bahwa suku Marind itu exist di dunia. Well, I know now and now, you do too!


Di Merauke sendiri, ada banyak  sekali suku, dua dari banyak suku tersebut ada yang namanya Suku Marind dan Malind. Nah, banyak orang yang mengetahui kedua suku ini kadang sering salah kaprah dan cenderung menyamakan kedua suku ini.


“Malind itu bukan Marind,” kata salah satu tetua suku Marind.

Kediaman Bapak Mathias Nawauce di Buti, Samkai-Merauke.

Yep, Suku Marind dan Malind itu berbeda. Bedanya dimana? Bukan hanya konsonan L dan R loh. Well, menurut penjelasan para Suku Marind yang super kompak dan rebutan pengen jawab pertanyaan saya ini, katanya Suku Marind itu adalah hasil dari kawin campur yang dilakukan oleh orang-orang dari Suku Malind.


Salah satu tetua Suku Marind

Jadi, kalo asli bapaknya itu Malind, trus bapaknya kawin campur sama orang di luar suku Malind, anaknya jadi suku Marind, anak-anaknya akan terus menjadi Suku Marind, makanya agak sedikit susah untuk mencari suku Malind sekarang karena sudah banyak suku Malind yang kawin campur dengan orang di luar suku mereka.

Wanita Suku Marind

Untuk Suku Marind sendiri banyak banget jenisnya. Ada Marind Bob, Marori, Kanum, Yeinan serta Marind Dek dan Pantai. Kebetulan Suku Marind yang saya observasi adalah Suku Marind Pantai. Kata si Bapak, Marind ini banyak banget dan tersebar di seluruh Papua sampai ke wilayah Tanah Merah di Boven Digul.



KAUM PERAMU

Secara umum, cara hidup Suku Marind adalah lewat hasil-hasil alam di sekitar mereka. Tentu saja hal ini ngebuat mereka menjadi salah satu dari sekian suku yang masih hidup sebagai kaum peramu, kaum yang mengolah bahan pangan mereka sendiri dari alam.

Secara khususnya, perbedaan Marind Pantai dan Marind lainnya adalah Marind Pantai hidup di dekat pantai-pantai sehingga mereka lebih mengandalkan hasil tangkapan di laut seperti ikan, udang dan lainnya, sedangkan untuk Marind lainnya, mereka kebanyakan tinggal di pedalaman, sehingga hasil tangkapan mereka lebih kepada pertanian dan hasil hutan.

Bapak Mathias dan keluarganya yang saya temui di Daerah Buti, Kelurahan Samkai memiliki banyak banget background pendidikan sebelumnya. Sebagai Suku Marind, Bapak Mathias ini sempat berkuliah di banyak tempat  seperti ITB, dan lainnya bahkan sampai ke negara tetangga kita di Singapura. Akan tetapi semuanya tidak sempat ia selesaikan karena masalah biaya. Di semua universitas tersebut, jurusan yang sempat beliau ambil adalah engineeringdan pertanian.


Menilai dari pilihan pendidikan yang beliau sempat ambil, bikin saya semakin positif mengatakan bahwa suku Marind ini benar-benar kaum peramu karena sektor-sektor yang menjadi perhatian mereka sendiri adalah masalah pertanian, irigasi dan teknik mesin. Hal ini menjadi semakin jelas ketika hampir semua Suku Marind Pantai berprofesi sebagai nelayan dan sebagian Marind lainnya adalah petani.


***


PERAMU VS PENDATANG DAN PENGEMBANG

Bapak Mathias tidak jarang curhat ke saya mengenai masalah orang-orang asli di Papua, khususnya Suku Marind sendiri. Masyarakat asli papua terkadang merasa asing tinggal di tanah mereka sendiri dikarenakan di Merauke sendiri banyak banget kaum pendatang dan kaum pengembang, seperti investor.


Kedatangan masyarakat akibat program transmigrasi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dulu ternyata berdampak hingga saat ini. Kaum pendatang dari wilayah Jawa yang kemudian memilih untuk bercocok tanam di sini ataupun menjadi nelayan, baik sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak, kerap menimbulkan konflik dalam diri masyarakat Marind.


Maksud saya tuh bukan konflik yang membuat adanya keteganggan antara kedua pihak sehingga mengakibatkan tindakan-tindakan vandalisme ataupun anarkisme, tapi lebih kepada masalah-masalah kecil yang sering sekali di temukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah penjualan hasil pertanian dan tangkapan laut. Menurut Suku Marind Pantai sendiri, kaum pendatang sering sekali mematok harga yang lebih mahal di bandingkan suku Marind Pantai yang menjual hasil tangkapan mereka dengan harga yang lebih murah.


Pendidikan yang terbatas yang diterima oleh masyarakat Marind sendiri membuat kebanyakan dari mereka, let’s say bodoh… Hal ini juga diakui oleh masyarakat Marind sendiri. Bapak Mathias mengatakan bahwa kaum mereka tidak tahu bagaimana cara membaca pulo awal dan akhir untuk memperkirakan biaya tarif listrik bulanan bahkan sampai masalah keakuratan timbangan di pasar. Basic stuff like that sometimes ngebuat si Bapak Mathias sendiri kasihan dengan kaumnya yang sering sekali dicurangi oleh orang lain. Well, dalam kasus ini sih, ‘orang lain’ itu adalah kaum pengembang.


Kaum pendatang yang ada di Merauke yang hidup berdampingan dengan masyarakat Marind sendiri bukan hanya masyarakat yang berasal dari Pulau Jawa, ada juga banyak yang berasal dari NTT, NTB, Maluku, Sulawesi, Flores. Masyarakat hidup berdampingan dengan baik, tidak ada masalah yang benar-benar mengakibatkan perkelahian ataupun perseteruan yang berarti.


Menurut gue, gap diantara mereka akan tetap ada  selama komunikasi antara Suku Marind dan pendatang tidak berjalan dengan baik. Perbedaan motivasi antara penduduk asli, pendatang ataupun pengebang (investor) akan selalu menimbulkan konflik kepentingan dan gap di antara mereka. Untuk saat ini Suku Marind memang masih berada di posisi lemah, tetapi siapa kiranya yang tahu masa depan semua kaum?


***


PERISAI TUBUH DAN IMAN

Tahu banget kan kalian semua kalo suku-suku Papua itu biasanya telanjang dan pakenya koteka dan daun-daun pohon kelapa doang? Well, bener banget kalo suku di sana emang pada telanjang, akan tetapi sejalan dengan globalisasi, pakaian pun ikut diperkenalkan di sana, sehingga saat ini sudah tidak semua suku asli Papua yang masih telanjang.

Upacara adat untuk menyambut rombongan Uskup Agung Merauke
Nah, ceritanya para tetua suku Marind bersama kepala suku sedang mencegat rombongan Uskup Agung
Wah, kebetulan sekali pas gue berkunjung ke sana ada kegiatan pemberkatan gereja di wilayah Zenegi. Ada upacara adat penyambutan gitu, lucu deh… Nah, ceritanya ada rombongan suster-suster dan uskup agung Merauke sendiri yaitu, Monsieur Nicolas Adi Seputra terus mereka di cegat sama suku Marind yang pake baju adat yang terbuat dari daun pohon kelapa, semacam serabut kelapa dan coretan cat di muka mereka.


Monsieur Nicolas, Uskup Agung Merauke, bersama rombongan suster
Saya sih awalnya mikir kalo upacara adat mereka bakalan telanjang terus pake koteka dan daun-daun kelapa doang, tapi untungnya kagak soalnya agak horror juga sih kalo saya harus ngeliat yang begitu secara langsung. Bisa jantungan kali saya.. nggak siap mental coy, hahaha..


Yang lucu itu pas saya sadar kalo bahkan suku asli Papua di Merauke sendiri sudah semuanya mengenal pakaian, tapi yah sih kalo dilihat untuk upacara sepertinya tetep deh kayaknya diusahakan agak sedikit telanjang begitu. Dari pengamatan saya sih pas upacara adat penyambutan selamat datang itu, ada ibu yang berpartisipasi dalam upacara adat masihkekeuh make sejenis push-up bra gitu dan bapak-bapaknya banyak yang shirtless gitu, mungkin sudah kebiasaan juga nggak pake baju.

Kaum perempuan suku Marind di Zenegi saat upacara adat

Oh ya, balik ke upacara penyambutan! Upacara penyambutan ini mirip-mirip sama tradisi masyarakat Betawi pas mau nikah yang si penganten cowok datang ke rumah cewek trus tukar-menukar pantun gitu. Bedanya, di sini nggak ada pantun yang ditukar hanya ucapan-ucapan pake Bahasa Marind yang saya sendiri nggak ngerti dan ada beberapa kalimat bahasa Indonesia yang lumayan familiar di telinga.


Jadi setelah hadap-hadapan antara rombongan Monsieur Nicolas dan Suku Marind. Well, lebih seperti pencegatan gitu sih, si Monsieur lalu di coret mukanya dan lalu secara official di terima masuk ke wilayah suku tersebut untuk memberkati gereja ST. Theresia tersebut.




Sekilas info, gereja ST. Theresia ini juga merupakan program Corporate Social Responsibility(CSR) dari PT. Selaras Inti Semesta. Yep, perusahaan ini ceritanya memberikan bantuan berupa pembangunan gereja kecil untuk masyarakat di sana. Menurut saya sih, hal ini merupakan bantuan yang sangat kecil yang bisa dilakukan perusahaan, menilai banyak banget tanah penduduk yang telah dikuasai perusahaan. Saya nggak tahu persis berapa hektar, tapi seperti cerita bapak Mathias, masyarakat Marind yang masih kurang berpendidikan kerap kali melepaskan tanah mereka kepada pengembang dan akhirnya menandatangani perjanjian tanpa tahu apa yang baru saja mereka tanda-tangani.


Persebaran agama di tanah Papua ini memang lebih banyak pengaruh Katolik dari Portugis, Katolik Roma. Banyak sekali gereja yang dapat di temukan di Merauke. Waldus Kaisei, anak muda suku Marind yang gue wawancarai mengatakan bahwa agama Suku Marind Pantai hampir semuanya adalah Katolik. Memang ada agama lain yang dianut seperti Muslim, Kristen, Hindu dan Budha tetapi hanya beberapa dan untuk masyarakat Marind sendiri sepertinya hanya ada Katolik, Kristen dan Muslim, sangat jarang menemukan yang Budha ataupun Hindu.


Perkawinan campur kaum transmigran dari wilayah Jawa dan Makassar dengan Suku Marind membuat ada sebagian Marind yang menganut Agama Islam. Sedangkan perkawinan campur dengan masyarakat Sulawesi Utara seperti Manado dengan Suku Marind membuat sebagian Marind lainnya menganut Agama Kristen. 


Banyak juga masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di Merauke yang membawa Agama Budha masuk, akan tetapi saya belum pernah melihat contoh hasil dari perkawinan campur antara mereka dengan Suku Marind sehingga memang saya belum bisa bilang bahwa ada Suku Marind yang beragama Budha.


So, Yes in conclution, sudah semua Suku Marind Pantai yang memakai baju, hanya beberapa suku lain yang masih tinggal di pedalaman sana yang memakai koteka. Untuk  agama, mayoritas dari Suku Marind adalah penganut Agama Katolik.


***


ORGANISASI SOSIAL  

Sama seperti banyak suku pada umumnya, Suku Marind juga dipimpin oleh seorang kepala suku. Menurut perkataan Waldus, anak muda Marind, setiap lingkungan memiliki kepala suku yang memimpin mereka. Tugas kepala suku adalah melayani anggota sukunya dan menjadi utusan (semacam opinion leader) ketika ada rapat dengan kepala desa, lurah, bupati ataupun pihak investor dan pengembang yang datang ke wilayah mereka untuk melakukan sesuatu.


Kepala Suku, Suku Marind di Zenegi

Yep, untuk upacara-upacara adat biasanya kepala suku ini selalu dijadikan referensi dan selalu diikutsertakan. Sama seperti teori-teori yang saya pelajari di kelas Public Relation, bahwa untuk membangun kegiatan Comunnity Relation, kita harus selalu mencari key opinion formerataupun key opinion leader-nya. Kebetulan, saya waktu itu nggak nemu rumahnya kepala suku buat nanya-nanya ke beliau akan tetapi saya nemu key opinion former-nya, yaitu si Bapak Mathias Nauwauce ini.


Dengan mendapatkan izin dan persetujuan dari kepala suku, sudah tentu semua kegiatan pendatang dan kaum pengembang dapat berjalan lancar tanpa hambatan.


***


GAYA HIDUP MODERN REMAJA MARIND

Masih ada banyak remaja Marind Pantai Modern, baik yang tinggal di pinggiran Pantai ataupun di kotanya yang masih mengunyah sirih pinang. Kelihatan banget pas saya lihat giginya pada merah-merah gitu. Awalnya sempet ngeri juga saya ngeliat giginya pada merah, karena saya mikir mereka baru aja makan daging dengan darah-darahnya.. hahaha, ternyata yang dikunyah itu adalah sirih pinang.


Kebiasaan suku Marind mengunyah sirih pinang, lihat deh giginya pada merah :)

Meski masih ada remaja Marind yang punya kebiasaan mengunyah sirih pinang, tidak sedikit dari mereka yang juga suka mabuk-mabukan. Kegiatan mabuk-mabukan ini ternyata diperkenalkan dan sudah berkembang parah sejak zaman penjajahan. Jadi menurut cerita, kebiasaan minum itu ditularkan kaum penjajah ( well, lebih jelasnya pihak Belanda) kepada masyarakat di Papua. Tidak hanya Suku Marind yang sekarang memiliki kebiasaan buruk mabuk-mabukkan, hambir semua suku di Papua yang sempat kedatangan kompeni Belanda sudah terpengaruh kebiasan buruk tersebut.


Anak-anak gadis Suku Marind di Zenegi

Menurut penilaian hasil observasi saya, banyak Suku Marind yang terbiasa hidup di wilayah pinggiran karena mungkin sudah tinggal turun-temurun juga di sana. Meski hidup berdampingan secara baik dengan pendatang, tidak banyak Suku Marind yang tampaknya nyaman berbaur dengan kaum pendatang dengan leluasa.


Ada beberapa anak-anak muda Suku Marind yang sudah tinggal di kota dan mengecap pendidikan di sana serta memiliki selera fashion yang hampir sama dengan apa yang kita ketahui sekarang. Mind you, meski di sana saya nggak nemuin yang namanya Mall, tetapi anak-anak muda di Merauke termaksud anak muda Suku Marind sendiri gayanya lebih stylishdaripada saya yang hampir tiap hari make kaos dan jeans doang.


Beberapa anak muda Suku Marind yang masih tinggal di wilayah pinggiran juga masih terlihat dengan fashion-fashion lokal dari wilayah Papua sendiri, seperti memakai noken. Noken itu adalah tas asli dari Papua sana yang biasanya digantungnya di kepala.


Anak suku Marind yang memakai noken, tas yang digantung di kepala

***


Saya berpose bersama keluarga Bapak Mathias Nawauce di Buti. Samkai- Merauke
So, that was my story when in Merauke with Marind. Hopefully, I could make anything like this in future and tell you guys that there are WAY TOO MANY ethnic group in Indonesia and they have something to tell and you should have a time and couple of open ears to listen to their stories in order to make the world a better world for everyone to live.
Peace. Love and I HEART INDONESIA

Posted By Namek Bian