Selasa, 31 Mei 2016

MITOLOGI DALAM SUKU MALIND ANIM

Mitologi dalam suku Marind-Anim 

 

Dalam suku Marind Anim terdapat mite tentang asal-usul manusia. Dari mite ini maka suku Marind Anim akhirnya memiliki totem seperti yang akan diceritakan dalam mite tersebut seperi kelapa, anjing dan ikan. Terdapat banyak mite dalam suku bangsa ini. Namun demikian, terdapat suatu mite yang dikenal secara umum. Berikut ini akan diceritakan tentang mite/asal-usul lahirnya manusia.

I. Arti Dema
Dema adalah nama yang diberikan berdasarkan kepercayaan masyarakat Marind akan kemahakuasaan yang dimiliki oleh roh. Roh ini sangat sakral dan sangat dihormati. Dema pada dasarnya berwujud manusia namun terkadang menjelma dalam bentuk hewan dan tumbuhan. Bagi orang Marind, Dema merupakan asal-usul manusia, nenek moyang orang Marind.
Dema adalah suatu makhluk jaman purbakala, yang bersama makhluk lainnya telah menjadi dunia dan tata dunia ini, tetapi yang kemudian tidak memiliki pengaruh lagi atas dunia ini. Setiap dema ini sekarang memiliki totem, yaitu suatu cara istimewa diduga berhubungan dengan suatu dema yang tertentu dan dengan klen tertentu.[1]
Pada mulanya, terdapat dua Dema yakni Nugog atau bumi yang dipercaya sebagai ibu/perempuan. Dema yang kedua adalah Dinadin atau langit yang adalah pria/suami. Kedua Dema ini memiliki dua orang anak yakni Geb dan Sami. Kedua anak ini merupakan nenemoyang/leluhur pertama orang Marind. Geb (klen kelapa) mewakili daerah pantai sedangkan Sami (klen sagu) mewakili daerah pedalaman. Walaupun keduanya mewakili daerah yang berbeda namun  mereka harus saling membantu satu sama lain.[2] hal. 5
II. Mitos Orang Marind[3]
          Dikisahkan bahwa pada suatu waktu, Dema mengadakan acara/pesta adat. Pesta tersebut dilaksanakan di dalam tanah di daerah Sangase.[4] Untuk itu, setiap Dema berjalan dari daerahnya masing-masing untuk sampai ke tempat acara tersebut diselenggarakan.
Dalam perjalanan itu, terjadilah sesuatu yang aneh dan menarik. Dema Anjing yang bernama Girui mendengar suara yang aneh dari dalam tanah karena adanya pergerakan para peserta yang hendak menghadiri pesta tadi. Ia berusaha mengikuti sumber bunyi tersebut. Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Kondo, suara itu semakin terdengar jelas. Kondo adalah daerah di muara sungai. Sesampainya di situ, Dema Girui menggali tanah yang merupakan sumber bunyi itu. Dari lubang yang digalinya itu, terpancar keluar air, namun bukan air semata. Bersamaan dengan itu, keluar pula seekor binatang yang aneh. Binatang itu menyerupai seekor ikan. Ikan itu berbentuk seperti ikan anda (ikan gabus atau lele). Ikan itu mempunyai dua tangan, sementara sirip dan ekornya bersatu dengan badan. Ikan ini tidak memiliki mulut dan telinga.
          Dikisahkan lebih lanjut bahwa bentuk ikan seperti ini kemudian disempurnakan oleh Dema Api. Ia membuat api di atas lubang yang digali tadi. Api dibuat dengan mempergunakan bambu. Karena usaha ini, muncullah berturut-turut dua telinga pada manusia ikan itu. Pada tahap selanjutnya, muncullah ledakan akibat api tadi dan muncullah dua mata. Pada ledakan ketiga, Dema api memberikan suara dan manusia itu dapat berteriak dengan suara yang keras. Itulah proses terjadinya mulut dan masa berakhirnya penciptaan manusia.
          Bila diselidiki lebih jauh lagi, sebenarnya Dema anjing tadi menggali dua lubang, yang menandakan bahwa ada dua manusia yang diciptakan. Namun demikian, saat keduanya keluar dari lubang yang digali Dema anjing, ikan yang satunya telah sempurna bentuknya sehingga tidak perlu disempurnakan lagi. Ikan yang pertama dan belum sempurna itu dipercaya sebagai leluhur orang Marind sementara dari lubang yang satunya tadi, tempat munculnya ikan yang lain, dipercaya sebagai manusia yang telah sempurna dan merupakan leluhur suku-suku lain (Ikonim Anim). Setelah keluar dari lubang itu, ia langsung pergi meninggalkan daerah Marind dan menetap di tempatnya sekarang. Ia adalah leluhur orang kulit putih (sebutan terhadap orang barat). Ia pergi meninggalkan tempat penciptaan ini dengan menggunakan sebuah perahu.
III. Tanggapan
Sejak hadirnya dema pertama, dapat dilihat bahwa orang Marind memiliki kesatuan yang erat dan tak tergantikan. Suku Geb yang mewakili daerah pantai serta Suku Sami yang mewakili daerah pedalaman berasal dari satu keturunan. Untuk itu, orang Marind tidak pernah membedakan eksistensinya sebagai orang pantai dan pedalaman. Semuanya adalah orang Marind yang adalah animha (manusia sejati). Mereka memiliki relasi kekeluargaan yang besar dan saling membantu.
Itulah sifat yang bisa diambil dari kisah tentang dema-dema yang pertama. Selanjutnya dalam kisah penciptaan, dilihat bahwa manusia Marind diciptakan dengan melalui proses yang panjang. Berbagai unsure dati alam seperti bamboo dan api digunakan untuk menyempurnakan manusia Marind. Untuk itu, manusia Marind tidak bisa hidup dengan telepas dari alam. Manusia Marind dan alam adalah suatu kesatuan. Manusia Marind hidup bersama alam dan terlibat di dalam alam demi kebahagiaan bersama. Manusia Marind hidup kareka alam dan untuk itu, ia wajib menjaga dan memelihara alam yang telah menyempurnakan dan menjadikannya seperti yang ada sekarang ini.
Selain persatuan di antara berbagai klen yang ada dalam budaya Marind serta kesatuan manusia dengan alam, mereka juga masih menghargai orang asing yang masuk. Bagi mereka, kisah penciptaan seperti yang diceritakan di atas member gambaran yang jelas bahwa orang asing adalah saudara mereka yang pada saat penciptaan telah terlebih dahulu menjadi sempurna sehingga mereka sudah keluar ke daerah lain menggunakan sebuah perahu. Untuk itu, ketika mereka kembali lagi ke wilayah Marind, mereka diterima dengan baik sebagai saudara.
          Dari mite seperti ini dapat diketahui bahwa Dema merupakan roh yang sakral dan sangat dihormati. Ia dihormati karena dipercaya bahwa Ia sangat sakti dan berkuasa melakukan apa saja seperti yang terjadi dalam mite di atas. Ia mampu mengadakan manusia dan menjadikannya sempurna. Semuanya itu dilakukan karena ia memiliki kuasa dan kehebatan khusus.
          Terlepas dari persoalan Dema, dari mitos ini kita juga melihat kosmologi orang Marind. Langit dan Bumi, permukaan tanah dan bawah tanah, anjing, bambu, ikan, api, manusia dan sebagainya menggambarkan bahwa seluruh isi langit dan bumi memiliki kesatuan. Kesatuan ini tak dapat dipisahkan. Bagi orang Marind, manusia berasal dari alam, dan alam dihidupi oleh manusia. Semuanya saling menjaga dan melindungi.
          Sebagai manusia, orang Marind berhak menjaga alam karena alam telah menghadirkan mereka. Walau awal penciptaannya, orang Marind tidak sempurna seperti kisah penciptaan di atas, namun dengan perlahan tapi pasti, Demamempergunakan unsur-unsur yang ada pada alam untuk membuatnya sempurna. Untuk itu, alam sangat berjasa dan bernilai urgen bagi orang Marind.

Add caption


Siang itu, Minggu (10/4), langit cerah ketika kami berjumpa dengannya di dusun sunyi, sebuah tempat di ujung timur Nusantara. Kami menjangkau dusun ini setelah melintasi sabana serta menembus lebatnya pohon bus dan sela-sela musamus (rumah rayap).


Suku Marind yang mendiami Merauke, pesisir selatan Papua, kini bergelut dengan modernisasi. Tombak, busur, pasak, dan kahanggat (batang bambu yang diruncingkan) perlahan diganti pacul, sekop, dan traktor. Meski demikian, hasrat berburu tetap menyala.


Cornelia bersama 200-an keluarga di Kampung Urumb adalah sebagian warga Marind yang cakap bersawah dan menghasilkan sekitar 1,5 ton beras tiap kali panen. Keluarga Cornelia bertani padi sejak 1962 saat beberapa warga Marind di pesisir pantai hijrah ke daratan. Orangtua mereka belajar bersawah dari transmigran asal Jawa.


Berburu kanguru atau rusa dengan bekal busur dan tombak jarang mereka lakukan. Demikian pula menokok (mengikis) daging pohon sagu dengan kahanggat, hal itu hanya dilakoni pada waktu-waktu tertentu, seperti menjelang upacara adat.


Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Marind Frederikus Gebze menuturkan, transformasi bermula pada awal 1900-an ketika gelombang pendatang masuk Merauke. Kebanyakan pendatang adalah orang Jawa yang dibawa Belanda. Di Merauke mereka dikenal dengan Jamer (Jawa-Merauke).


Pertemuan itu membuat orang Marind—yang umumnya berpostur tegap, tinggi besar, dan berhidung mancung—mulai kenal pertanian padi dan palawija. Lahan persawahan mulai dibuka di sekitar pantai Merauke dan Distrik Kurik. Saat itulah, sekitar 1910, sejumlah warga Marind membuka sawah dan menanam padi. Perkenalan suku Marind dengan sistem pertanian modern berlanjut hingga gelombang transmigrasi tahun 19651995. Pada 1985 pemerintah merelokasi keluarga Marind ke daerah transmigran dan membekali mereka dengan pertanian modern, dari mengolah tanah dengan pacul dan traktor, menabur benih, memupuk, hingga memanen.


Meski transformasi tidak berjalan mulus, suku Marind yang tinggal di sekitar permukiman transmigrasi, seperti Distrik Semangga, Kurik, dan Kumbe, perlahan menyerap kecakapan budidaya. Vincentius Takai Mahuze (43), warga Kampung Urumb, Distrik Semangga, misalnya, bisa mendapatkan 40 karung gabah dari 1 hektar (ha) sawahnya setiap panen. Minimal dia mengantongi Rp 3,6 juta dari penjualan 1,2 ton beras.


Walaupun sudah bertani, budaya meramu, memangkur sagu, menjaring ikan, berburu, dan berkebun dengan metode sederhana, yakni wambat


(membuat deretan bedeng setinggi lutut orang dewasa untuk ditanami umbi-umbian dan pisang), tetap mereka pertahankan. Ini tersisa pada suku Marind yang bermukim di pedalaman hutan dan rawa. Mereka adalah suku Kanum, subsuku Marind yang mendiami Kampung Yanggandur, Torai, Erambu, Sota, dan Rawa Biru di Distrik Sota.


Aktivitas bertani melengkapi keseharian suku Marind asli, yaitu masuk-keluar hutan berburu rusa, babi, buaya, dan kanguru. Hasil buruan dijual ke Merauke tanpa diolah lebih dulu. Oleh warga perkotaan, daging rusa itu diolah sebagai bahan bakso dan dendeng. Merauke adalah penghasil dendeng rusa yang populer.


Menurut Jago Bukit, Kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius, Merauke, warga suku Marind tak bisa bertahan dengan meramu dan berburu. Sebab, hutan dan sabana perburuan terdesak dan menciut karena lahan mereka dikapling pengusaha. Sektor pertanian memang menjadi fokus dan unggulan Merauke. Merauke memiliki lahan pertanian potensial 2,5 juta ha dengan lahan basah 1,9 juta ha. Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Merauke menerbitkan 46 izin investasi bidang pertanian meliputi 228.000 ha lahan, termasuk di tanah ulayat. Ironisnya, tanah ulayat sering dilepas dengan harga murah kepada pemilik modal. Banyak tanah ulayat dijual hanya Rp 10 (sepuluh rupiah!) per meter persegi karena iming-iming perusahaan memberi perumahan, pendidikan, dan lapangan kerja.





Sebaliknya, harus dibuka juga fakta, tak semua investor sekadar mencari untung. Mereka eksplisit punya andil menggerakkan perekonomian daerah dan menyerap tenaga kerja. Bayangkan, tanpa investasi dan campur tangan pemodal dari Jakarta—dan masuknya teknologi baru—Merauke tentu sulit sekali berkembang. Susahnya, sebagian warga tidak memiliki ketekunan dan keuletan bertani. Ini wajar karena sekian generasi mereka diberkahi kemurahan alam. Karena itu, seperti kata Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-anim Alberth Gebze Moyuend, sebagian warga meninggalkan sawah mereka karena merasa tak sesuai dengan kultur dan adat. Tercatat lahan sawah yang terbengkalai mencapai 34 persen dari 38.402 ha lahan pertanian di Merauke.


Pastor Andreas Fanumbi Pr, pendamping masyarakat Marind di Distrik Semangga, melihat masyarakat Marind mengalami benturan budaya. Mereka butuh pendampingan untuk bergelut dengan perubahan keadaan dan budaya. Diperlukan pendekatan budaya dan religi dengan melibatkan tiga tungku, yakni pemerintah, masyarakat, dan pihak ketiga. Pendidikan diperlukan.


Bupati Merauke Romanus Mbaraka bertekad melindungi masyarakat Marind. Ia menawarkan konsep penyertaan modal. Tanah adat yang kelak jadi lahan perusahaan dihitung sebagai penyertaan modal....

Posted By Namek Bian



Tidak ada komentar:

Posting Komentar